preload

Cowboys In Paradise

Published in: Label:
Salah satu Film yang menuai Controvarsi tahun 2010




Resensi FIlm "cowboys In Paradise"
Beredar film dokumenter tentang gigolo, ‘Cowboys in Paradise,’ yang pemainnya melibatkan pelaku wisata di Bali dinilai tidak akan mempengaruhi kunjungan wisatawan.

Sutradara asal Singapura Amit Vimani membuat sebuah film dokumenter berjudul 'Cowboys in Paradise'. Film yang dibuat 2007-2009 ini bercerita soal para pria pelayan seks bagi turis perempuan yang melancong ke Bali.

Dalam proses pembuatan, Amit mengakui semua serba sulit pada awalnya. Salah satunya adalah memulai dari mana untuk mencari gigolo yang kemudian dia sebut cowboys.

Seperti dikutip dari laman twitchfilm.net edisi Maret lalu, Amit mengisahkan perjuangannya mencari cowboys yang mau difilmkan. "Saya berkeliling berhari-hari tapi tidak mendapatkan satupun wawancara," kata dia dalam laman itu.

Namun, kata dia, itu adalah bagian dari proses setelah dia memutuskan untuk melakukan riset ke lapangan sendiri.

Setelah bertemu dengan para cowboys, Amit mengaku pekerjaan semakin mudah. "Kalau pun ada cowboys yang tidak mau difilmkan, mereka bersedia berbagi cerita dengan saya," kata dia.

Amit mendeskripsikan cowboys sebagai kelompok yang tidak memiliki alasan untuk malu dengan pekerjaannya. "Mereka sangat bangga karena diminati begitu banyak perempuan asing," kata dia.

Meski ia ingin film ini bersudut pandang laki-laki, tapi Amit memasukkan pemeran perempuan dalam film. "Terima kasih pada perempuan-perempuan asal Eropa. Mereka sangat terbuka soal seks," kata dia.

Namun, film ini menuai kontroversial karena para beberapa pemeran gigolo dalam film ini angkat suara. Mereka menolak disebut sebagai gigolo.

"Kalau kita gigolo, kita nggak ngekos yang cuma Rp 200 ribu Mbak. Kita makan saja kadang ngutang," kata Arnold, yang dalam film tersebut terlihat sedang bicara dengan turis asing saat ditemui di Pantai Kuta, Bali.

“Fenomena film di Bali itu hanya riak-riak kecil semata dan tidak akan mempengaruhi kunjungan wisata,” kata Dedy Eryanto Pranowo, Ketua Keluarga Publik Relation (PHRI), Yogyakarta, Jumat 30 April 2010.

Menurutnya kemunculan film semacam itu merupakan resiko industri pariwisata. Tapi, dia yakin kasus ini kecil kemungkinan terjadi di Yogyakarta.

“Kalau di Yogyakarta mungkin itu tidak terjadi karena di Yogyakarta masih memegang teguh budaya yang diagungkan dan ada batasan norma, agama dan aturan yang lainnya,” katanya.

Dia berharap kasus di Bali menjadi pengalaman di daerah wisata lainnya, terutama di Yogyakarta, agar kelak tidak terulang kembali.

Untuk di Yogyakarta, Dedy mengatakan telah berkoordinasi dengan organisasi pramuwisata. Misalnya dengan memberi pelatihan dan kode etik kepada guide turis.

“Jika ada oknum yang bertindak di luar norma dan aturan, sanksi tegas akan diberikan,” katanya.

About Me

Girant_31
Pengetahuan tidaklah cukup, Kita harus mengamalkannya. Sekedar Niat pun tidaklah cukup, kita harus melakukannya.

Lihat profil lengkapku

Statis

Online Visitor :